Wawasan BerQurban
Jual Beli Kulit Hewan Qurban
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka hingga akhir zaman.
Dalam pemanfaatan hasil sembelihan qurban,
seringkali kali kita saksikan beberapa hal yang dinilai kurang tepat menurut
kacamata syari’at. Beberapa pelanggaran dalam ibadah ini sering terjadi,
mungkin saja karena belum sampainya ilmu kepada orang yang melakukan ibadah
qurban. Dalam tulisan kali ini -dengan taufik dan pertolongan Allah Ta’ala-,
kami berusaha menjelaskan bagaimana pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang
tepat yang sesuai dengan tuntunan syari’at, juga bagaimanakah penilaian syariat
terhadap praktek kaum muslimin saat ini dalam hal jual kulit hasil sembelihan
qurban. Semoga Allah memberi kemudahan dan memberi taufik bagi siapa saja
yang membaca risalah ini.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang
Dibolehkan
“Supaya
mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya
dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi
fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
“Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka
janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari
ketiga.” Ketika datang tahun
berikutnya, para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami
harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang), makanlah
sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah.
Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan
supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”
Jika kita melihat dalam hadits di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan pada shohibul qurban untuk memakan daging
qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada.
Namun apakah perintah di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib.
Alasannya, perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah
Ushul Fiqih, “Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum
sebelum dilarang.” Hukum makan dan menyimpan daging qurban sebelum
adanya larangan tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul qurban memakan
daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpannya adalah mubah.
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan,
“Dulu
aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar
orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki
kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.“
Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan:
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari
sahabat Nabi dan selain mereka.”
Apakah Mesti Ada Pembagian 1/3 – 1/3?
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan
keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan
bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan
sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat
tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat
hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban).
Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan.
Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta
hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan
jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin)
untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian
apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah).
Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi
Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan, “Hasil sembelihan qurban dianjurkan
dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin
untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada
kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada
tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara
muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”
Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad
Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau
kurang dari 1/3. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan qurban,
maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban,sepertiganya lagi
dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat serta sepertiganya lagi
disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/kurang dari sepertiga atau
diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada
orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan.
Dalam masalah ini ada kelonggaran.“
Intinya, pemanfaatan hasil
sembelihan qurban yang dibolehkan adalah:
- Dimakan oleh shohibul qurban.
- Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
- Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.
Bolehkah Memberikan Hasil Sembelihan
Qurban pada Orang Kafir?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa
di Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Bolehkah daging qurban hasil
sembelihan atau sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada orang kafir?
Jawaban
ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah: “Orang kafir boleh diberi hewan hasil
sembelihan qurban, asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan kafir yang
diajak perang). Dalil dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al Mumtahanah: 8). Alasan lainnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan
ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana diriwayatkan oleh Al
Bukhari
Kesimpulan: Memberikan hasil hewan qurban kepada
orang kafir (asalkan bukan kafir harbi) dibolehkan karena status hewan qurban
sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan sedekah
maupun hadiah kepada siapa saja termasuk orang kafir. Sedangkan pendapat yang
melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Terlarang
Ada dua bentuk pemanfaatan hasil sembelihan
qurban yang terlarang, yaitu 1. Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban
dan 2. Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Berikut
penjelasannya.
Larangan pertama: Menjual sebagian
dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan
bagian lainnya.
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits Abu
Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah
menjual hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi
makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah
kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.”
Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah)
Walaupun hadits di atas dho’if, menjual hasil
sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk
taqorrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak
boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah
mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul
(masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima
tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula
dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan
lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari
hasil sembelihan qurban sebagaimana nanti akan kami jelaskan.
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum
muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban
termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit
terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan
qurban, maka tidak ada qurban baginya.”
Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah
pendapat para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri
pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang
lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban
(seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban
dengan barang lainnya termasuk jual beli.”
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat
dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya
disedekahkan. Akan tetapi, yang lebih
selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan
larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu
a’lam.
Catatan
penting yang perlu diperhatikan:
Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar
dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban
menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar
dengan uang.
Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Taudhihul Ahkam dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam. Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Taudhihul Ahkam dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam. Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil sembelihan
qurban dapat kami rinci:
- Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.
- Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan
hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir
hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan
dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu
terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang).
Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk
jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al
Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging
atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk
jual beli.”
Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana
disebutkan oleh An Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir
hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai
nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban:
Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang
membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan
kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa.
Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Larangan kedua: Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dalil
dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib:
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku
untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan
jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari
dingin). Aku tidak memberi sesuatu
pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami
akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban
sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi
pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan
memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri.
Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” An Nawawi
lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang
sunnah.”
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan
diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya
menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Demikian pembahasan kami seputar pemanfaatan
hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang dibolehkan. Semoga Allah
memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari apa yang Dia larang.
Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan dan kecukupan.
Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan dan kecukupan.
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Posting By Holilik. M.H.I ( Master Hukum Islam )